Text

..-SELAMAT DATANG-..
Presiden Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa 'Hidup Matinya Suatu Bangsa ada pada sektor Pertanian'. Negara Indonesia adalah negara agraris, dimana sektor pertanian masih menjadi tulang punggung negara ini untuk tetap berdiri dan berlari. Sudah waktunya sektor pertanian kembali bangkit untuk membawa Indonesia menuju kejayaannya, dan kitalah MAHASISWA PERTANIAN yang akan menorehkan tinta emas itu.

Rabu, 23 November 2011

STATE OF THE ART ILMU EKONOMI PERTANIAN INDONESIA: KILAS BALIK KERISAUAN MUBYARTO


Rudi Wibowo

Kita di Indonesia nampaknya membuat kekeliruan yang sama dengan yang dibuat oleh banyak negara berkembang lainnya........ Meskipun perhatian kita terhadap pertanian pangan sudah amat besar sehingga tercapai swasembada pangan, namun dana yang dicurahkan bagi industrialisasi jauh melebihi kewajaran dengan sekaligus kurang memper-hatikan pengembangan ”agribisnis” dan ”agroindustri” yang seharusnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses industrialisasi berwawasan pengembangan sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Kini perekonomian perdesaan kita masih dalam keadaan lemah. Ada semacam dualisme yang tetap bertahan, lebih-lebih dengan ”serbuan” teknologi maju di segala bidang. Penduduk perdesaan dewasa ini bekerja dan berjuang keras semata-mata agar bisa bertahan menghadapi arus komersialisasi yang amat kuat menekan kehidupan mereka. Maka tidaklah menghe-rankan apabila kemiskinan perdesaan masih tetap cukup memprihatinkan..............

Demikianlah cuplikan tulisan Prof. Mubyarto di tahun 1995, 1) pada saat beliau mengingatkan kita semua dalam ”menempatkan” posisi para pemikir di bidang ekonomi pertanian. Ada keresahan, ada keprihatinan, dan ada gugatan di dalamnya.
1) Mubyarto, 1995. State of The Art Ilmu Ekonomi Pertanian Indonesia. Mimeograph. Artikel ini ditulis untuk “merefleksikan” kembali tulisan Prof. Mubyarto dalam mimeograph tersebut.

Dalam banyak hal, ilmu ekonomi pertanian memang dianggap telah banyak berjasa dalam mengungkapkan dan menganalisis berbagai masalah ekonomi dalam sektor dan bidang pertanian, memberikan ”andil” pada pemahaman masalah-masalah produktivitas dan efisiensi produksi pertanian serta sikap pemihakan pada petani. Akan tetapi, sampai saat ini ilmu ekonomi pertanian tersebut masih belum cukup mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keadilan sosial. Bahkan di lain sisi, pengangguran tersembunyi yang merupakan salah satu sebab kemiskinan perdesaan, sering masih membingungkan ahli-ahli ekonomi pertanian.
Jauh sebelum itu, Prof. Mubyarto dalam konteks yang lebih luas telah mengungkapkan ”kerisauan”nya tentang hari depan sistem perekonomian Indonesia. Kala itu di bulan Mei tahun 1979, dalam orasi ilmiah pengukuhan gurubesarnya di depan Rapat Senat Terbuka Universitas Gadjah Mada, dipertanyakan: ”Tidakkah sudah tiba saatnya ekonom Indonesia mulai mawas diri dan mempertanyakan relevansi teori ekonomi Neo-Klasik Orthodox sebagai ilmu yang mendasari berbagai kebijaksanaan dan strategi ekonomi?”. Bahkan dihipotesakannya bahwa teori ekonomi Neo-klasik yang terbentuk di dunia Barat satu abad lalu hanyalah relevan untuk menganalisa sebagian kecil perekonomian kita dan tidak relevan bagi sebagian besar yang lain. Mengapa? Karena teori ekonomi tersebut tidak mempunyai ”moral” pemihakan pada rakyat miskin. Teori ekonomi Neo-klasik dinilai telah tidak begitu berkembang sebagai ilmu di negara kita, tetapi lebih kelihatan berkembang sebagai seni.
Kerisauan ini menjadi sangat relevan diungkapkan kembali, ---pada saat perekonomian kita berada disimpang jalan antara pertumbuhan dan keadilan---, mengingat bahwa teori-teori ekonomi Neo-klasik yang banyak menggantungkan pada kekuatan pasar untuk melaksanakan alokasi sumberdaya dalam masyarakat, justru telah mendorong dan menumbuhkan golongan ekonomi kuat, akan tetapi kurang mampu meningkatkan peran golongan ekonomi lemah.
Ungkapan di atas pada dasarnya merupakan kerisauan para ekonom pertanian di Indonesia, yang selain bekerja dalam aspek-aspek produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan, senantiasa memulai peker-jaannya dengan masalah-masalah mendasar seputar kemiskinan, pemerataan dan keadilan sosial, yang (seharusnya) merupakan tema sentral studi-studi ekonomi pertanian dan perdesaan.

REFLEKSI PERJALANAN EKONOMI PERTANIAN INDONESIA
Ilmu Ekonomi Pertanian Indonesia oleh Prof. Mubyarto dianggap ”lahir” tepat pada saat berdirinya Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) di 13 Februari 1969. Sebagai wadah berkumpulnya profesi ahli-ahli dan peminat ekonomi pertanian, anggota PERHEPI tidak harus berlatar belakang sarjana ekonomi pertanian (agricultural economists), akan tetapi lebih merupakan perhimpunan profesi ekonomi pertanian (society of agricultural economics). Ilmu Ekonomi Pertanian Indonesia memang berkembang atas jasa berbagai cabang ilmu yang berkaitan dengannya, selain dari berbagai pengalaman para praktisi (peneliti, penyuluh, pengusaha, aktivis LSM, petani, nelayan, dan sebagainya), yang terutama berkecimpung dan belajar dengan dunia ekonomi pertanian dan perdesaan.
Mulai saat itu, Ilmu ekonomi pertanian di Indonesia yang berkembang dan dikembangkan melalui perhimpunan profesi ekonomi pertanian dianggap sebagai ”ilmu perjuangan”. Berjuang melalui pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan dalam ”membela” petani yang tidak memperoleh simpati dan perlindungan dari pemerintah serta masyarakat lainnya. Sangat banyak ilustrasi ”perjuangan” pemikiran ekonomi pertanian tersebut. Di tahun 70-an misalnya, diperkenalkan pemikiran melalui Rumus Tani berkenaan dengan penetapan harga padi/gabah terendah, yang dianggap dapat ”melindungi” para petani produsen padi. Pada saat itu, pemerintah dianggap terlampau memihak masyarakat konsumen beras, sementara harga tidak menguntungkan petani sebagai produsen. Dalam hal komoditas tebu misalnya, ketidaktepatan Inpres 9 Tahun 1975 sebagai instrumen perlindungan petani banyak digugat oleh para peneliti ekonomi pertanian kala itu. Inpres tersebut pada dasarnya melarang pabrik-pabrik gula menyewa tanah dari petani dengan maksud agar petani ”terlindungi”, akan tetapi sempitnya lahan petani dianggap sebagai kendala pencapaian tujuan Inpres tersebut. Baru dua dekade kemudian pemikiran para ekonom pertanian tersebut dianggap tepat sehingga mampu me”revisi” Inpres tersebut dengan sistem bagi hasil yang lebih menguntungkan petani tebu.
Studi-studi ekonomi pertanian juga banyak dilakukan dengan mengambil lingkup perekonomian perdesaan. Hal ini wajar mengingat perdesaan senantiasa identik dengan pertanian, dimana para petani berada. Sejak Boeke menuliskan disertasinya di tahun 1910 yang berjudul The Problems of Tropical Colonial Economy, maka ketertarikan para peneliti kepada masalah dualistic pada perekonomian perdesaan menjadi sangat besar. Masalah-masalah tersebut pada hakekatnya bermuara pada relatif terabaikannya sektor pertanian dan perdesaan, akibat keyakinan akan mujarabnya teori pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, setelah Perang Dunia Kedua. Industrialisasi seakan-akan menjadi satu-satunya obat mujarab (panacea) untuk membangun perekonomian negara-negara bekas jajahan. Dengan industrialisasi, struktur ekonomi suatu negara akan semakin seimbang. Padahal, dengan ketidaksiapan (dan ketidakcukupan) sumberdaya modal, teknologi, ketrampilan dan keahlian, proses tersebut dianggap hanya akan menciptakan ketergantungan baru dari negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju (the second generation of dependency). Tampaknya, itulah hakekat dari kerisauan Mubyarto, sebagaimana terungkap dalam awal tulisan ini.
Pertanian di Indonesia pada awalnya merupakan sektor utama dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat pada sumbangannya dalam pendapatan nasional maupun jumlah penduduk yang bermata-pencaharian darinya. Di tahun 1960-an, hampir 60% pendapatan nasional berasal dari pertanian, dengan pangsa tenaga kerja sekitar 60-65%. Dengan posisi sedemikian, tidak dapat disangkal bahwa pertanian merupakan sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa sektor ini beberapa kali membuktikan dirinya sebagai ”buffer” perekonomian nasional pada saat resesi maupun krisis ekonomi dunia.
Demikian pentingnya sektor pertanian bagi Indonesia, berbagai tahapan pembangunan nasional lima tahunan kala itu memberikan prioritas pada pembangunan sektor ini, khususnya dalam upaya mencapai dan mempertahankan swasembada pangan (beras). Dilema kemudian terjadi, ---sebagaimana sifat-sifat pertanian di banyak negara--, akibat prioritas pembangunan pada sektor pertanian tersebut tidak senantiasa memberikan resultan sebagaimana dikehendaki, baik dalam pencapaian produksi, produktivitas maupun pendapatan petani. Mengapa demikian? Ada semacam perangkap kemiskinan struktural yang teramat berat di dalam sektor ini, sehingga dorongan pertumbuhan dari luar tidak selalu memperoleh respon petani. 2) Mubyarto mencontohkan bahwa pada tahun 1980-an, sektor pertanian yang pangsanya 30% PDB nasional hanya mampu menyerap 7% kredit perbankan, sementara sektor industri menyerap 28% dan jasa 12%. Pada tahun 1994, penyerapan kredit di sektor pertanian tetap rendah, sekitar 8%, sementara industri mampu menyerap 33% kredit, dan jasa menyerap 24% kredit. Bagi Mubyarto, sangat sulit dicari penyebabnya jika hanya menyandarkan pada analisis ekonomi pertanian semata. Dilema ”pertanian subsisten” dan ”kemiskinan perdesaan”, dengan demikian, memerlukan analisis multidisiplin (misalnya sosiologi perdesaan, antropologi, dst) untuk dapat memahami persoalan secara menyeluruh.
2) Untuk pemahaman tingkat responsiveness pertanian dari petani yang sifatnya subsisten, dapat dilihat pada Clifton.R.Wharton (Ed)., Subsistence Agriculture and Economic Development. Chicago, 1969.

Dalam perkembangannya, pemikiran-pemikiran multidisiplin mulai mengemuka dalam upaya memahami masalah-masalah pemba-ngunan pertanian di Indonesia. Tampaknya, kala itu para ekonom (pertanian) mulai merasa prihatin akan semakin perlunya mendalami masalah-masalah ”keadilan” yang sesungguhnya merupakan kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Sementara itu, ilmu ekonomi Neo Klasik yang dipergunakan sebagai alat analisis dianggap ”tumpul” dalam menganalisis dilema tersebut. Oleh karena itulah, para peneliti ekonomi pertanian mulai mengintroduksi studi-studi multidisiplin dan memandang peran ”moral” dalam perilaku petani subsisten. Beberapa contoh misalnya yang dilakukan oleh Dr. David H. Penny dan Masri Singarimbun dalam Population and Poverty in Rural Java: Some Economic Arithmatic from Sriharjo., Prof. Sajogyo dengan Garis Kemiskinan Sajogyo yang terkenal itu, dan Prof. Mubyarto dalam bukunya Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan. Selain itu, terjemahan buku James Scott The Moral Economy of Peasant menjadi sangat terkenal di Indonesia, Moral Ekonomi Petani.
Sejak itu, studi-studi ekonomi perdesaan yang dilakukan para peneliti ekonomi pertanian Indonesia mulai menjangkau ranah ekonomi kelembagaan,sebagaimana pendekatan yang dikembangkan oleh Gunnar Myrdal. Tampaknya para ekonom pertanian mulai meyakini bahwa pendekatan ekonomi Neo Klasik walaupun diperlukan, akan tetapi tidaklah cukup, karena terlampau mengandalkan pada mekanisme persaingan pasar bebas (free market competition), yang dalam kenyataannya memang sulit dijumpai bentuk murninya pada ekonomi perdesaan. Ekonomi kelembagaan perdesaan dapat menyangkut kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan perkreditan, kelembagaan sarana produksi, dan sebagainya. Kelembagaan perdesaan dianggap sangat penting untuk menjelaskan fenomena transaksi dalam kegiatan-kegiatan ekonomi perdesaan, mengingat kurang berkembangnya ekonomi pasar. Berbagai studi yang dilakukan kelompok-kelompok peneliti di SAE (Survey Agro Ekonomi), dan kemudian SDP (Studi Dinamika Pedesaan), dan peneliti-peneliti lain di berbagai universitas menunjukkan dinamika tersebut.
Selaras dengan itu, dalam konteks yang lebih makro, Prof. Mubyarto pada dasarnya telah meletakkan pandangannya dalam konsepsi Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila adalah ilmu ekonomi kelembagaan. Pelaksanaan sistem ekonomi demikian harus berdasar etika dan moral Pancasila dan harus dilakukan melalui sistem ekonomi koperasi, ekonomi berdasar kerjasama, dan bukan ekonomi berdasar persaingan bebas. Hanya dengan cara demikian, ekonomi rakyat akan dapat bangkit, dilema kemiskinan, dualistic dan keadilan sosial dapat diatasi.
Ekonomi kelembagaan adalah pendekatan ekonomi yang mengakui bahwa dasar perilaku ekonomi tidaklah selalu merupakan kepentingan-kepentingan yang serasi, tetapi justru merupakan kepentingan-kepentingan yang saling bertabrakan. Pendekatan ini secara jujur mengakui adanyakelangkaan (sebagai masalah) dan tidak hanya memandang kelangkaan itu sebagai data belaka. (Namun) pandangan ekonom kelembagaan adalah bahwa kelangkaan tidak hanya menimbulkan kemungkinan terjadinya pertentangan, tetapi juga bisa berupa (ajakan) tindakan kolektif ( collective action) yang membangun tatanan berdasar hubungan saling ketergantungan. Ekonomi kelembagaan menganggap efisiensi sebagai prinsip yang bersifat universal, karena ia memecahkan masalah kelangkaan melalui cara kerja-sama.... (yang) pasti tidak akan terjadi bila keserasian kepentingan justru sudah dianggap ada..... kerjasama timbul karena kebutuhan akan terciptanya keserasian baru dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda. 3)
3) Mubyarto, Ekonomi Pancasila : Renungan Satu Tahun PUSTEP UGM. PUSTEP UGM, Yogyakarta, 9 Desember 2003. Halaman 10-11.

Dalam konteks ekonomi pertanian dan perdesaan, kuatnya perhatian dan pemihakan para ekonom pertanian pada petani telah mendorong berbagai studi, baik secara langsung maupun tidak langsung senantiasa berkaitan dengan upaya menemukenali tentang penanggulangan kemiskinan mereka, dalam suatu kerangka yang lebih merata dan berkeadilan. Sekedar beberapa contoh, hal itu tampak dalam berbagai pembahasan ekonom pertanian, misalnya tentang Growth and Equity in Indonesian Agricultural Development (Perhepi, 1982), Pembangunan Pertanian dalam Menanggulangi Kemiskinan (Perhepi, 1993), Kemiskinan : Peranan Sistem Pasar (DH.Penny, Sajogyo, UI Press, 1990), Pertanian dan Pedesaan Indonesia Dalam Transisi (Perhepi, 1996), serta berbagai studi dan tulisan yang berkenaan dengan Program Inpres Desa Tertinggal (Mubyarto, Sajogyo, dan lainnya). Secara khusus, Agus Pakpahan mengung-kapkan keprihatinannya terhadap dinamika kehidupan petani (perkebunan) yang senantiasa bergelimang dalam kemiskinan dan keterbelakangan, dalam Petani Menggugat (2004). Bahkan, beberapa bulan sebelum wafat, Prof. Mubyarto masih sempat mengingatkan akan rapuhnya teori ekonomi Neo Klasik dalam menganalisis dilema kemiskinan, dengan mengambil ilustrasiGrameen Bank-nya Prof. Muhammad Yunus di Bangladesh, dalam Teori Ekonomi dan Kemiskinan (2004).
Dari refleksi singkat perjalanan pemikiran-pemikiran para ekonom pertanian Indonesia tersebut, terlihat jelas upaya-upaya penerapan pendekatan yang semakin kritis dalam mendalami persoalan ekonomi pertanian nasional. Di lain pihak ada benang merah dari pemikiran-pemikiran tersebut, bahwa masalah kemiskinan, pemerataan dan keadilan sosial merupakan dilema utama pembangunan pertanian dan perdesaan. Kunci pemecahan masalah kemiskinan di perdesaan tidaklah mungkin diatasi dengan mengabaikan upaya pembangunan pertanian dan perdesaan.


MENYONGSONG ESOK :
KERISAUAN EKONOMI PERTANIAN KITA
Banyak hal telah difikirkan, dirujuk, dianalisis dan didiskusikan oleh para ekonom pertanian Indonesia, dan beberapa telah diamalkan dalam berbagai kebijakan. Namun demikian, banyak hal masih menjadi keprihatinan. Adakah yang salah dengannya?
Keprihatinan utama saat ini pada dasarnya bertumpu pada masih tetap tertinggalnya tingkat hidup dan kesejahteraan petani-petani di perdesaan. Dinamika ekonomi nasional selama ini ternyata masih belum memberikan iklim yang baik bagi berkembangnya usaha pertanian perdesaan. Nilai tukar tidak semakin baik, bahkan semakin menjauh dari harapan mereka.
Di bulan Mei 2004, Konperensi Nasional para ekonom pertanian yang tergabung dalam PERHEPI telah mengkristalkan pemikiran akan kebutuhan untuk segera merekonstruksi dan merestrukturisasi pembangunan pertanian, menyongsong hari depan petani dan pertanian menjadi lebih baik. Bagi petani, hari depan yang lebih baik adalah kehidupan yang lebih produktif, bermartabat dan lebih sejahtera. Bagi pertanian, pembangunan yang lebih baik adalah kegiatan yang lebih berdaya saing (produktif dan efisien).
Sampai saat ini, para ekonom pertanian sangat prihatin terhadap dinamika yang terjadi, khususnya dengan apa yang menjadi resultan dalam pembangunan pertanian selama ini. Negara ini pada dasarnya adalah negara agraris, negara dengan sumberdaya dasar pertanian. Akan tetapimainstream pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini masih belum mendasarkan pada upaya-upaya peningkatan kapabilitas sumberdaya pertaniannya. Agribisnis hanyalah tetap sebagai jargon peningkatan daya saing pertanian yang tidak dilakukan dalam arah yang jelas. Petani, pekebun dan nelayan sebagai aktor utama pembangunan pertanian tidak menunjukkan tanda-tanda menjadi lebih produktif, lebih bermartabat dan lebih sejahtera, bahkan cenderung semakin ‘tertinggal’ dibandingkan aktor pembangunan lainnya. Indikator-indikator sosial ekonomi menunjukkan keprihatinan itu.
Pemerintah telah menetapkan Perpres No.7/2005 tentang RPJMN 2004-2009 sebagai komitmen politik pembangunan jangka menengah yang akan dilakukan pemerintahan baru tersebut. Pembangunan pertanianpun dalam Bab 19 diletakkan landasan pembangunannya dalam tajuk Revitalisasi Pertanian. Bahkan di bulan Juni 2005 lalu beberapa rancangan untuk mengimplementasikan revitalisasi pertanian dicanangkan oleh Presiden di Jatiluhur. Dalam rencana tersebut, revitalisasi pertanian dalam arti luas dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran penciptaan lapangan kerja terutama di perdesaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk maksud tersebut, diletakkan sasaran, arah kebijakan dan berbagai program kebijakan serta program-program pendukungnya.
Secara akademik, pertanyaan penting yang perlu didiskusikan adalah: Apakah pembangunan pertanian yang akan dilaksanakan dalam RPJMN tersebut diyakini mampu mengatasi akar permasalahan pertanian? Akankah program-program tersebut benar-benar mampu menjadi instrumen yang tepat dan mujarab bagi upaya untuk merevitalisasi pertanian yang sesungguhnya? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sangat penting untuk didiskusikan secara akademik untuk memperoleh perspektif arah yang tepat bagi pembangunan (pertanian) ke depan.
Bagi para ekonom pertanian, sebagai negara yang tumbuh dengan bagian terbesar sumberdaya dasar pertanian dan penduduk dengan mata pencaharian utama pertanian, maka pembangunan pertanian seyogyanya menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Tidaklah salah jika pertanian mengemban fungsi ekonomi, sosial dan ketenagakerjaan serta fungsi ekologi. Akan tetapi, menjadi persoalan besar manakala kedudukan dan fungsi yang sangat penting pada pertanian tersebut tidak lagi mampu merefleksikan hal-hal mendasar yang diharapkan. Hal-hal mendasar tersebut adalah: (a) Dalam perspektif makro, pertanian tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang produktif dan kompetitif; (b) Secara mikro, kegiatan-kegiatan pertanian menjadi ‘semakin jauh’ dari harapan bagian terbesar pelakunya, para petani-pekebun-peternak-nelayan, menjadi tumpuan kehidupan menjanjikan yang memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya. (c) Bahkan dari aspek-aspek wilayah (spasial), kegiatan-kegiatan pertanian dalam lingkup luas tidak mampu menjadi daya dorong pembangunan wilayah dan perdesaan, yang justru bagian terbesar pelaku dan kegiatan tersebut berada di dalamnya.
Mencermati potret pertanian kita saat ini, tampaknya dinamika yang memprihatinkan tersebut di atas sedang kita alami. Keunggulan komparatif bidang pertanian yang dimiliki tidak mampu diterjemahkan oleh sistem ekonomi yang dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif. Dalam kurun lebih empat dekade, data makro nasional menunjukkan bahwa pergeseran struktur ekonomi makro (penurunan PDB pertanian) yang secara cepat terjadi, tidak secara harmonis diikuti dengan penurunan pangsa ketenagakerjaannya. Di tahun 60-an, lebih dari 60% pangsa PDB pertanian dalam perekonomian nasional mampu menyerap tidak kurang dari 80% total tenaga kerja, sementara saat ini, pangsa PDB pertanian yang hanya tinggal 16% harus menanggung tidak kurang dari 40% tenaga kerja. Tidaklah salah jika peran relatif pertanian menurun, karena hal itu adalah bagian dari proses transformasi struktur ekonomi suatu negara. Akan tetapi, ‘kesalahan’ lebih pada ketidakharmonisan dalam transformasi struktur ekonomi kita, serta realita terjadinya penurunan produktivitas kerja dalam pertanian yang mencolok.
Bagian terbesar ‘aktor’ pembangunan pertanian adalah para petani-pekebun-peternak-nelayan yang notabene adalah pelaku-pelaku dalam lingkup skala ekonomi kegiatan yang sangat terbatas. Terbatas dalam skala, teknologi, informasi, permodalan, manajemen dan pasar, aspek-aspek penting dan utama yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Dalam definisi usaha, mereka menjadi bagian terbesar dari usaha kecil/mikro. Dari sudut lapangan usaha (KLUI), usaha kecil/mikro di bidang pertanian saat ini memiliki nilai tambah per satuan usaha maupun per satuan kerja yang paling rendah diantara jenis-jenis usaha kecil/mikro lain non-pertanian.
Ringkasnya, akar permasalahan pertanian kita saat ini terletak pada sejauh mana nilai tambah dapat ditingkatkan dan sekaligus dapat dinikmati oleh para petani-pekebun-peternak-nelayan secara lebih baik. Meningkatkan nilai tambah berarti mengusahakan pertanian lebih produktif dan efisien.
Permasalahannya menjadi tidak sederhana, karena upaya mening-katkan nilai tambah kegiatan pertanian dihadapkan pada berbagai keadaan struktural maupun fungsional, seperti : (a) terbatasnya skala usaha pertanian, yang bagian terbesar merupakan usaha kecil/mikro dengan berbagai kendala, (b) belum terintegrasikannya secara harmonis kegiatan-kegiatan pertanian dengan industri dan jasa-jasa dalam matarantai agribisnis yang produktif dan efisien, dan (c) lingkungan strategis dan infrastruktur pendukung yang kurang friendly dengan pertanian. Merunut secara jernih dan mendalam masing-masing kendala di atas akan merupakan peta jalan (roadmap) yang dibutuhkan untuk mencari solusi, strategi dan kebijakan yang dibutuhkan bagi pembangunan pertanian ke depan.
RPJMN 2004-2009 menunjuk bahwa permasalahan penting dan mendasar dalam pertanian saat ini adalah (a) masih rendahnya kesejahteraan petani dan nelayan dan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi, (b) lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani, (c) skala usaha lahan yang semakin sempit sehingga pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhan dan kurang mendorong upaya peningkatan produksi, (d) terbatasnya akses petani ke sumber-sumber produktif dan permodalan, (e) dan masalah diseminasi teknologi yang mengakibatkan rendahnya produktivitas dan nilai tambah.
Revitalisasi pertanian, dengan demikian dilaksanakan dalam lima tahun mendatang, terutama dalam arti luas untuk mendukung pencapaian sasaran penciptaan lapangan kerja terutama di perdesaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk maksud tersebut, diletakkan sasaran, arah kebijakan dan 5 (lima) program kebijakan serta seperangkat program-program pendukungnya. Arah kebijakan ditempuh dengan langkah-langkah pokok, antara lain peningkatan kemampuan petani dan lembaga pendukungnya, pengamanan ketahanan pangan, peningkatan produksi, produktivitas, daya saing dan nilai tambah produk pertanian. Program-program utamanya antara lain Peningkatan Ketahanan Pangan, Pengembangan Agribisnis, Peningkatan Kesejahteraan Petani dan Pengembangan Sumberdaya dan Pemantapan Peman-faatannya, baik di bidang perikanan maupun kehutanan. Seperangkat program pendukung dari lain sektor diharapkan dapat mendorong upaya revitalisasi pertanian ini.
Persepsi sebagian besar ekonom pertanian, jika Revitalisasi Pertanian yang dimaksudkan bertujuan untuk menjadikan pertanian sebagai bagian sentral (mainstream) pembangunan ekonomi nasional yang mampu mensejahterakan petani dan pelaku lainnya, maka arah dan kebijakan pembangunan pertanian yang telah ditetapkan dalam lima tahun mendatang ini diantisipasi belum akan memberikan resultan yang tepat. Diperlukan ideologi dan keberpihakan yang jelas dalam merevitalisasikan pertanian, agar berbagai tujuan dan sasaran dapat dicapai. Hal ini penting dan mendasar agar persoalan pertanian menjadi urusan bangsa, bukan hanya sekedar urusan instansi teknis pertanian saja.
Pada masa lalu hingga saat ini, Indonesia menempatkan ideologi pertaniannya dalam konteks fisik dan kapital, yang diterjemahkan dalam bentuk peningkatan produksi, produktivitas, ketahanan dan keamanan pangan, agribisnis, devisa dan lainnya. Ideologi tersebut lebih bersifat hedonistik yang mengesampingkan aspek penting dari pertanian itu sendiri, yaitu petani sebagai subyek. Ideologi ini, dalam perjalanannya memperoleh berbagai kisah sukses seperti tercapainya swasembada, akan tetapi sekaligus ‘meminggirkan’ subyek petani dalam meningkatkan kesejahteraannya. Ideologi yang harus dibangun adalah melihat bahwa idealnya petani-petani di Indonesia memiliki hak-hak khusus seperti yang dapat dilihat berlaku di negara-negara maju. Hak-hak khusus ini diperlukan mengingat karakter dari pertanian itu sendiri, yaitu sebagai landasan berkembangnya peradaban yang lebih maju di satu pihak, tetapi di pihak lain petani akan selalu berada pada posisi yang lemah sebagai akibat dari karakter produk yang dihasilkannya.
Tidak mungkin suatu masyarakat berkembang apabila kekurangan pangan. Tetapi di pihak lain, pangan ini memiliki nilai tukar yang rendah. Oleh karena itu, menjadi hal yang ideal apabila kepentingan petani dan kepentingan negara menjadi satu tanpa meniadakan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya ideologi semacam ini, program swasembada pangan, misalnya, dapat bermanfaat secara nasional tetapi dapat merugikan petani, apabila pendapatan petani tidak dijamin. Kepentingan petani sebagai subyek pembangunan pertanian pada dasarnya adalah bekerja produktif, bermartabat dan sejahtera. Kepentingan tersebut haruslah harmonis dengan kepentingan negara dalam membangun pertanian, seperti peningkatan produksi, produktivitas, ketahanan dan keamanan pangan, agribisnis, devisa dan lainnya.
Ke depan, sangat dibutuhkan kebijakan dalam rangka Revitalisasi Pertanian yang lebih menekankan pada aspek pemberdayaan petani, baik kebijakan yang mendorong peningkatan posisi tawar petani melalui peningkatan kapabilitas kelembagaan petani, pengembangan infrastruktur pendukung kegiatan pertanian perdesaan, penetapan dan stabilitas harga produk pertanian, kebijakan harga input pertanian, kebijakan penyediaan lahan pertanian, kebijakan pengembangan kawasan-kawasan agropolitan, kebijakan permodalan, kebijakan pengendalian hama dan penyakit, dan kebijakan penanganan dampak bencana alam. Upaya-upaya kebijakan pemberdayaan petani tersebut menjadi sangat penting, mengingat bagian terbesar struktur usaha pertanian adalah berupa usaha kecil/mikro.
Dari sisi mikro teknis, upaya peningkatan nilai tambah pada kegiatan pertanian dapat dilakukan melalui dua jalan, yaitu upaya-upaya yang dapat meningkatkan produktivitas dan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui inovasi dan teknologi, sementara efisiensi dapat ditingkatkan melalui penataan ‘aturan main’ (legal sistem, kelembagaan). Dalam kondisi usaha pertanian yang bagian terbesar dilakukan petani dengan skala kecil/mikro, seringkali akses-akses produktif tidak terjangkau oleh mereka, sehingga tidak mampu mengikuti irama dan dinamika yang dibutuhkan dalam meningkatkan produktivitas dan pasar yang semakin kompetitif. Dalam keadaan demikian, tentu dibutuhkan upaya-upaya ‘keberpihakan’ dan pemberdayaan, baik melalui mekanisme pasar maupun non-pasar. Upaya-upaya tersebut bertujuan utama untuk merestrukturisasi usaha pertanian ke arah skala yang lebih kompetitif, meningkatkan investasi dan mengintegrasikan pertanian ke arah berkembangnya sistem agribisnis.

PENUTUP

Dinamika Ilmu ekonomi pertanian memang telah memberikan ”andil” pada pemahaman masalah-masalah produktivitas dan efisiensi produksi pertanian, serta sikap pemihakan pada petani. Akan tetapi, hingga saat ini, dinamika tersebut masih belum cukup mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan, pengangguran dan keadilan sosial. Bahkan, pengangguran tersembunyi yang jumlahnya hampir 30 juta dari 40.4 juta penganggur nasional saat ini dan merupakan salah satu sebab kemiskinan perdesaan, masih sering membingungkan ahli-ahli ekonomi pertanian.
Jika revitalisasi pertanian dilakukan dengan landasan ideologi keberpihakan untuk meningkatkan martabat dan kesejahteraan petani sebagai pelaku utamanya melalui upaya-upaya peningkatan nilai tambah bagi setiap kegiatan pertanian, ---sebagaimana diungkapkan dalam pokok-pokok pikiran di atas---, maka diyakini masa depan pertanian kita akan mampu menghela pembangunan ekonomi (perdesaan, wilayah, nasional).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar