Text

..-SELAMAT DATANG-..
Presiden Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa 'Hidup Matinya Suatu Bangsa ada pada sektor Pertanian'. Negara Indonesia adalah negara agraris, dimana sektor pertanian masih menjadi tulang punggung negara ini untuk tetap berdiri dan berlari. Sudah waktunya sektor pertanian kembali bangkit untuk membawa Indonesia menuju kejayaannya, dan kitalah MAHASISWA PERTANIAN yang akan menorehkan tinta emas itu.

Sabtu, 24 September 2011

Refleksi Hari Tani: Merdekakah Pertanianku?

 Oleh : Muhammad Sigit Susanto.

Afonso de Albuquerque seorang penjelajah lautan melakukan misi pencarian terhadap tanah yang menjadi permata dunia di abad ke-15. Tanah itulah yang kemudian kita kenal sebagai Indonesia, surga rempah-rempah dunia masa itu. Kesuburan itu pula yang membuat bangsa Indonesia bak piala yang menjadi rebutan. Belum lagi posisinya yang strategis dalam peta perdagangan dunia karena diapit oleh Benua Asia dan Australia hingga setiap bangsa-bangsa di dunia ingin memilikinya. Mulai dari kedatangan bangsa Portugis, Inggris, Belanda, hingga negara tetangga jauh, Jepang. Semua datang dengan senyum kebaikan namun membawa maksud yang menyengsarakan penduduk negeri ini. Cultuurstelsel adalah contoh kecil bagaimana rakyat Indonesia dijadikan budak guna mengeruk hasil bangsa ini, mengolah lahan-lahan pertanian Indonesia untuk kesejahteraan dan kemegahan para penjajah. Belum lagi 3,5 tahun yang kelam kala Jepang menjejakkan kaki-kakinya di Indonesia saat istilah romusha bergaung dimana-mana.
Hari ini 66 tahun berselang, kita tak lagi mendapati orang-orang yang diawasi dengan senjata untuk bertani, dipecut bagai binatang untuk menanam, atau di tembak jika malas-malasan. Secara fisik kita sudah merdeka dari penjajahan semacam itu. Hari ini 66 tahun berselang kita bisa dengan tenang menikmati hijaunya alam Indonesia, memetik hasil dari apa yang kita tanam dan menjualnya pada setiap orang yang kita mau.
Paradoks jika kita melihat kemerdekaan saat ini tenyata belum sepenuhnya menjadi milik seluruh rakyat  Indonesia. Jika lebih teliti melihat kita masih menemukan orang yang tinggal di rumah kardus di pinggiran rel kereta, mencari makan dari satu tong sampah ke tong sampah berikutnya, keadaan ini bahkan mungkin jauh lebih rendah dari masa lalu kita.
Sejenak mari kembali memaknai arti kemerdekaan yang sesungguhnya sudah kita dapatkan hari ini. Sejauh yang digambarkan pada kita, pemerintah sudah berupaya keras melakukan pembenahan dan pembangunan berbagai sektor kehidupan di negeri ini untuk bisa sepenuhnya merdeka. Tak terkecuali bidang pertanian, peternakan, kelautan dan perikanan, kehutanan hingga perkebunan, bidang yang kita kenal kemudian sebagai pertanian dalam arti luas. Berbagai peraturan telah dibuat, banyak tindakan sudah dilakukan namun tetap saja bukti bahwa kita belum merdeka sepenuhnya masih banyak kita temui.
Lahan pertanian kita saat ini makin mengecil, banyak lahan subur pertanian yang sengaja ditidurkan lalu kemudian diklaim tidak produktif karena sudah ditimbun tanah merah. Tak jarang kita temui pohon-pohon nan rindang berganti apartemen dan hotel mewah. Saat kebutuhan pangan manusia makin meningkat sejalan makin bertambahnya jumlah penduduk, saat itu pula laju konversi lahan pertanian  ke non pertanian makin digalakkan. Rakyat pun seolah dijadikan kambing hitam seraya dituntut meningkatkan produktivitas lahan dengan segala tekanan dan keterbatasan.
Belum lagi drama klasik dengan judul tingginya harga pupuk, padahal untuk memperoleh pupuk itu saja sangat sulit. Rantai perdagangan untuk sampai ke petani begitu panjang. Belum lagi masalah kelangkaan dan penggelapan pupuk oleh aktor-aktor antagonisnya. Jika sampai saat ini kita melihat tingginya harga pupuk yang dikombinasikan dengan kelangkaan dan penggelapan di sana-sini maka bukankah itu bentuk penjajahan terhadap petani?
Hari ini RUU Perlindungan Petani (RUU PP) sedang diwacanakan dalam tataran pengambil kebijakan negeri ini. RUU PP dibuat dengan maksud untuk melindungi petani dengan salah satu isinya adalah terkait asuransi petani. Banyak petani kita yang merugi karena tidak menentunya musim tanam di Indonesia dan diharapkan RUU PP ini dapat mengakomodir permasalahn ini. Ironis, jika kemudian perwakilan rakyat kita menolak RUU PP tersebut.
Menilik dari sisi perikanan dan kelautan, secara umum saat ini mayoritas masyarakat pesisir yang notabene adalah nelayan tradisional kita dapat dikatakan merupakan kelompok sosial yang tergolong rendah derajat kesejahteraannya. Pengetahuan dan penguasaan teknologi yang minim diperparah dengan sangat sedikitnya infrastruktur layak yang dapat mendukung kinerja mereka, belum lagi kelangkaan dan mahalnya harga bahan bakar untuk melaut. 
Semua masalah di atas masih ada di sekitar kita, dekat dengan masyarakat kita sejalan dengan makin tingginya gedung-gedung ibu kota, bersama dengan gaungnya semangat memperbaiki ASEAN. Jauh di desa sana banyak sawah tak terurus dan perahu teronggok tak melaut di pesisir. Saat tekanan ekonomi makin tinggi berbanding terbalik dengan pendapatan, akses permodalan usaha kecil bidang pertanian pun belum sepenuhnya memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Bahkan tak jarang kita temukan petani atau nelayan yang memilih untuk meminjam kepada rentenir dari pada meminjam pada lembaga keuangan atau perbankan formal. Bagi mereka meminjam kepada rentenir jauh lebih mudah dibandingkan kepada lembaga keuangan atau perbankan formal. Padahal resiko yang mereka hadapi sebenarnya sangatlah merugikan dengan bunga yang begitu tinggi dan monopoli tengkulak.
Tahun ini hari tani 24 September 2011 sejalan dengan 66 tahun negara ini merdeka harusnya menjadi waktu dimana pertanian kita benar-benar merdeka. Sinergisitas berbagai elemen sangat dibutuhkan dalam mencapai kemerdekaan itu. Bukan hanya pemerintah namun juga sektor swasta dan akademisi. Penelitian-penelitian ilmuwan harusnya diakomodir dan diberi ruang lebih besar guna turut mencari solusi masalah negeri ini. Begitu pun suara-suara rakyat dan pemuda harusnya didengar sebagai masukan bagi pengelolaan  dan pembangunan. Pembangunan ini bukan hanya milik satu atau beberapa golongan saja, tidak cukup pertimbangan dari kaum tua saja namun juga perlu penyempurnaan pemikiran kritis pemuda. Pemuda yang juga bukan hanya mampu berkoar-koar mengkritisi pemerintah tapi pemuda yang mampu terjun dan mengabdi pada masyarakat sesuai tri dharma perguruan tinggi. Mari perbanyak karya nyata daripada hanya sekedar retorika.
Hidup Pertanian Indonesia!

*Presidium Nasional Ikatan BEM Pertanian Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar